Pentingkah Sebuah Idealisme ?

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda”, ungkapan Tan Malaka itu mengisyaratkan bahwa sepanjang perjalanan bangsa ini. Idealisme memang merupakan barang langka yang hanya dimiliki oleh segelintir minoritas patriotis itu utamanya dipasok oleh kaum muda.

Definisi pemuda di sini bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (State of Mind). Abdul Rivai dalam tulisannya di majalah Bintang Hindia, No 14 (1905 : 159) mendefinisikan “Kaum Muda” sebagai rakyat hindia (muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno, tetapi berkehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pemikiran yang idealis.

Ada sebuah catatan kecil tentang idealisme dari seorang Gie.

Ia bercerita, di awal tahun 60an, berbekal cita-cita dan idealisme yang mebumbung tinggi pasca kemerdekaan, angkatan baru Indonesia yang lahir pasca tahun ’45 ini mulai memasuki universitas atau lembaga perguruan tinggi lainnya.

Seorang pemuda dengan penuh gagap gempita dan ketakjuban datang ke”Gerbang Megah” yang bernama perguruan tinggi. Ia memasuki dunia yang baru, sebuah  babak baru dimana ia berfikir akan membuat kontribusi nyata bagi kemajuan bangsanya.

Pada waktu itu Gie membayangkan seorang mahasiswa antropologi dengan cita-cita untuk membuat “Field Work” di pedalaman Kalimantan dan Irian. Atau seorang mahasiswa jurusan kimia yang berfikir untuk menemukan sejenis cairan baru yang dapat melambungkan manusia ke bulan. Selain itu Gie juga membayangkan seorang mahasiswa jurusan hukum yang memiliki ide-ide mumpuni yang sarat tentang rule of law.

Tapi dalam beberapa tahun kemudian, mahasiswa antropologi tadi tersadar bahwa tidak mungkin ada “Field Work” di Kalimantan atau Irian dan iapun harus puas dengan hanya membuat skripsi tentang masyarakat, yaitu tukang buah-buahan di pasar minggu. Tak berbeda jauh dengan mahasiswa antropologi alumnus jurusan kimia benar-benar menyadari bahwa yang ada untuknya hanyalah kerja di pabrik sabun atau mentega. Lalu mahasiswa jurusan hukumpun tersadar bahwa di atas hukum masih terdapat hukum yang tidak tertulis.

Pada saat itu pula mereka harus berhadapan dengan oknum penegak hukum dan mafia hukum yang punya koneksi. Alhasil merekapun secara perlahan harus melupakan idealismenya masing-masing. Memang sebuag kepahitan yang sangat memilukan.

Realitas-realitas baru inilah yang harus dihadapi oleh generasi muda Indonesia yang penuh dengan idealisme. Menjadi manusia-manusia yang non-kompromistis akan membuat orang-orang dengan aneh dan kasihan akan melihatnya sambil geleng-geleng kepala. Atau dia kompromi dengan situasi yang baru. Lupakan idealisme dan ikuti arus.

Bergabunglah dengan grup yang kuat, belajarlah teknik memfitnah dan menjilat. Karir hiduppun akan cepat menanjak. Atau jika ingin lebih aman, kerjalah disebuah perusahaan yang bisa memberikan sebuah rumah kecil, sebuah mobil atau jaminan lain dan belajarlah patuh pada atasan kemudian anda mulai mencari pasangan hidup, kehidupanpun selesai.

Perjuangan idealisme tidak ada yang mudah, ada rasa letih menyergap. Ada kesendirian hingga kesepian yang tak bertepi. Saat seperti itulah kita kembali mengingat tujuan awal dari perjuangan. Semoga idealisme yang dipunya bertujuan untuk kemaslahatan banyak orang dan bangsa.

Akan tetapi, tanpa aksi idealisme hanya akan jadi ilusi, menjadi terombang-ambing di tengah hamparan tanah yang gersang. Ketika kata telah kehilangan idealime maka masih adakah harapan yang layak di perjuangkan ?

Penulis : Adhika Graha, (Fakultas Hukum – 2013)